Ini Makna dan Penjelasan Kata Sembah dan Tata Cara dalam Ajaran Agama Hindu

- 30 September 2021, 08:48 WIB
Ilustrasi : Umat Hindu Bali yang melaksanakan Sembahyang.
Ilustrasi : Umat Hindu Bali yang melaksanakan Sembahyang. /

Sikap sembah adalah juga iktikad yang ditetapkan dan gestur yang lazim di keraton atau kerajaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta, di mana sangat penting untuk menyapa seorang raja (Sultan atau Sunan), pangeran dan bangsawan Jawa dengan gerakan ini.

Baca Juga: Begini Kronologis Aksi Penebasan Sadis di Sebuah Gang di Mengwi Hingga Membuat Korban Sekarat

Sembah juga adalah gestur sosial yang umum di Bali, di mana warisan etiketdan kebiasaan Hindu, masih dilakukan dan diwariskan sampai saat ini. Namun, dalam tradisi Bali sembah sebagai gestur sapaan biasanya dilakukan dengan menempelkan kedua telapak tangan dan menaruhnya lebih rendah dari dagu.

Dalam budaya Bali kata yang sering diucapkan dengan sembah saat menyapa seseorang adalah om swastiastu, yang seasal dengan kata sawatdee dalam bahasa Thailand, yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang bermakna yang aman, bahagia dan sejahtera, dan astu yang bermakna berarti mudah-mudahan.

Baca Juga: Ramalan Shio Babi, Shio Sapi dan Shio Kambing, Besok Kamis 30 September 2021: Beruntung Anda Penuh Kejutan

Pada zaman Hindu di Indonesia, tampaknya bahwa kata "swasti" adalah kata yang diucapkan saat sembah, dengan bukti yang terlutis dalam prasasti batu yang ditemukan di Jawa dan Sumatera yang dimulai dengan rumus svasti di awal; seperti abad ke-7 Prasasti kedukan Bukit yang mulai dengan: svasti, kesalehan kuat sri sakavarsatita 605 ekadasi suklapaksa vulan vaisakha.

Seiring perjalanan waktu muncul istilah Panca Sembah sebagai tata cara sembahyang, pada buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh umat Hindu dengan argumentasi mereka masing-masing.

Baca Juga: Ramalan Shio Monyet, Shio Ayam dan Shio Anjing, Besok Kamis 30 September 2021: Persahabatan Anda Disorot

Oleh karena adanya bermacam-macam istilah pada tata cara dan urutan serta sikap sembahyang yang berkembang maka melalui Mahasabha ke VI tahun 1991, ditetapkan kembali tata cara dan urutan sembahyang disebut, “Kramaning Sembah” (krama=urutan yang tepat, sembah=nyembah).

Hal ini menegaskan kembali bahwa kramaning sembah adalah tata cara sembahyang yang secara resmi ditetapkan, untuk menghindari adanya beda versi yang berkembang dalam masyarakat.

Halaman:

Editor: Aulia Nasri

Sumber: Berbagai Sumber PHDI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x