Jika ditinjau dalam fiqih, waktu sholat yang sudah terjadwal masih mengandalkan pergerakan matahari untuk menentukan waktu sholat.
“Sebab dalam urusan waktu sholat, memang mengikuti pergerakan matahari dengan menggunakan ilmu falak,” tutur Buya Yahya.
Namun jika ingin memudahkan pembagian waktu sholat di area yang 6 bulan tidak ada matahari seperti kutub utara, maka bisa mengikuti zona waktu negara terdekat yang masih normal durasi siang dan malamnya.
“Jika 6 bulan matahari nampak terus, dan 6 bulan matahari hilang, maka bisa mengira-ngira waktu sholat dengan mengikuti negara terdekat yang masih normal durasi munculnya matahari ,” tutur Buya Yahya.
Jika ada wilayah yang siangnya 18 jam dan malamnya Cuma 6 jam, maka seyogyanya membagi waktu 6 jam tersebut berapa jarak Salat magrib, isya’ dan subuh.
Baca Juga: Messi Kandidat Terkuat Peraih Ballon d’Or 2021? Berikut 5 Kandidat Jadi Pemenang
“Jika malamnya Cuma 6 jam saja dalam suatu wilayah maka harus bisa dikira-kira kapan waktu magrib, isya’ dan subuh,” tutur Buya Yahya.
Bahkan dengan zona waktu yang lebih panjang siangnya akan lebih panjang durasi puasa pada negri tersebut.
Namun jika tidak mampu puasa selama 18 jam di negri yang lebih panjang siangnya, maka boleh berbuka dan diganti dikemudian hari.